Privasi data itu memang sering jadi topik serius, apalagi dengan semakin banyaknya orang menggunakan internet di hampir setiap aspek kehidupan. Tapi, pernah nggak sih kita berpikir bagaimana orang yang tunanetra atau dengan penglihatan rendah bisa memahami privasi data mereka? Dunia digital yang penuh dengan teks dan tombol ini, bisa jadi labirin yang membingungkan bagi mereka, apalagi soal privasi. Nah, inilah yang diangkat oleh sebuah studi keren yang kita bahas kali ini, yang mencoba menjawab pertanyaan besar: bagaimana cara terbaik untuk membantu tunanetra memahami dan menjaga privasi data mereka di era digital?

Yuk, kita intip lebih dalam dan lihat bagaimana penelitian Understanding How to Inform Blind and Low-Vision Users about Data Privacy through Privacy Question Answering Assistants menjelaskan tantangan dan solusi dalam menginformasikan privasi data bagi pengguna dengan gangguan penglihatan.

 

Di era digital seperti sekarang, kita hidup di tengah arus data yang mengalir tanpa henti. Dari penggunaan aplikasi media sosial hingga belanja online, kita setiap hari secara sadar atau tidak membagikan berbagai informasi pribadi. Bagi sebagian orang, memahami apa yang terjadi dengan data mereka mungkin cukup rumit. Tetapi, bagi mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan, tantangan ini bisa menjadi jauh lebih kompleks. Akses informasi tentang privasi data yang biasanya penuh dengan teks kecil dan bahasa hukum yang rumit membuat mereka kesulitan untuk mengikuti dan memahami kebijakan yang ada.

Penelitian yang akan kita bahas ini mengambil langkah penting dalam memahami bagaimana pengguna tunanetra dan dengan gangguan penglihatan merasakan dan mengelola privasi data mereka. Lebih dari itu, studi ini juga menggali solusi, yaitu asisten penjawab pertanyaan privasi yang menggunakan teknologi Natural Language Processing (NLP), sebagai cara potensial untuk membantu pengguna memahami dan mengelola data mereka. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi bagaimana studi ini memberikan wawasan tentang kebutuhan privasi data untuk komunitas ini dan mengapa upaya meningkatkan aksesibilitas privasi sangat penting untuk kesetaraan di era digital.

 

Blind Low Vision (BLV)

Dalam dunia yang semakin bergantung pada data, pengguna tunanetra dan dengan gangguan penglihatan (BLV) memiliki kebutuhan khusus dalam memahami dan mengelola privasi data mereka. Para peneliti dalam studi ini secara khusus ingin mengetahui bagaimana sikap dan harapan pengguna BLV terhadap penggunaan asisten privasi—alat yang dirancang untuk membantu mereka menavigasi dan mengelola privasi data secara lebih mudah. Ide utamanya adalah menciptakan asisten berbasis teknologi, khususnya menggunakan Natural Language Processing (NLP), yang bisa menjawab berbagai pertanyaan terkait kebijakan privasi dan data pribadi yang mungkin sulit diakses atau dipahami.

Penelitian ini menemukan bahwa pengguna BLV memiliki ketertarikan yang cukup tinggi terhadap asisten privasi karena alat ini dianggap dapat menjawab kebutuhan mereka akan aksesibilitas. Mereka berharap asisten ini bisa memberikan informasi privasi yang sederhana, jelas, dan langsung pada intinya tanpa harus membaca kebijakan privasi yang panjang dan membingungkan. Lebih lanjut, pengguna BLV menginginkan asisten privasi yang fleksibel dan bisa diakses di berbagai perangkat—mulai dari komputer hingga ponsel pintar—dan menggunakan berbagai mode interaksi, baik itu suara maupun teks.

Selain fleksibilitas dan aksesibilitas, para pengguna BLV juga menunjukkan keinginan agar asisten privasi ini bisa memberikan informasi yang tepercaya, akurat, dan mudah dipahami tanpa istilah-istilah hukum yang rumit. Hal ini sangat penting karena pengguna BLV seringkali bergantung pada teknologi bantu atau bantuan dari orang lain untuk memahami informasi yang kompleks. Dengan adanya asisten privasi yang tangguh dan ramah pengguna, mereka berharap dapat memiliki kontrol lebih baik terhadap privasi mereka serta merasa lebih aman dan mandiri dalam menggunakan teknologi digital.

 

Analisis Dan Kebutuhan

Untuk memahami lebih dalam mengenai kebutuhan privasi pengguna tunanetra dan dengan gangguan penglihatan (BLV), para peneliti melakukan studi wawancara kualitatif yang melibatkan 21 peserta dari Amerika Serikat yang menggunakan berbagai teknologi digital. Studi ini berfokus pada tiga pertanyaan penelitian utama, atau Research Questions (RQs), yang dirancang untuk menggali pandangan, perilaku, dan harapan mereka terkait privasi data:

  • RQ1: Bagaimana pengguna BLV memahami dan mengatasi risiko privasi data yang terkait dengan teknologi digital?
  • RQ2: Apa saja perilaku dan kebiasaan mereka dalam mencari informasi seputar privasi data?
  • RQ3: Apa ekspektasi pengguna BLV terhadap alat privacy Q&A atau asisten berbasis pertanyaan privasi untuk membantu mereka dalam memahami informasi privasi data?

Melalui tiga pertanyaan ini, studi ini berhasil memberikan kontribusi penting bagi bidang penelitian privasi, khususnya dalam hal inklusivitas dan aksesibilitas untuk pengguna BLV. Berikut adalah poin-poin utama dari kontribusi yang dihasilkan:

  1. Investigasi Kualitatif yang Mendalam tentang Persepsi Risiko Privasi dan Upaya Mitigasi: Ini adalah salah satu studi pertama yang menggali secara mendalam cara pandang dan tindakan pengguna BLV dalam menghadapi risiko privasi. Studi ini juga mengidentifikasi pola atau strategi mereka dalam mencari informasi privasi, bila memang ada, serta tantangan yang sering kali mereka hadapi.
  2. Memahami Ekspektasi Fungsionalitas dan Aksesibilitas Asisten Privasi: Hasil studi ini memperkaya pemahaman kita tentang fitur-fitur apa saja yang diharapkan pengguna BLV dari asisten privacy Q&A. Fitur ini harus ramah pengguna, fungsional, dan dapat diakses dengan mudah di berbagai perangkat. Pengguna menginginkan asisten yang dapat membantu mereka memahami informasi privasi tanpa harus terjebak dalam istilah-istilah yang rumit atau teknis.
  3. Pendorong untuk Pembuatan Alat Keamanan dan Privasi yang Inklusif: Studi ini memberikan wawasan yang dapat digunakan dalam merancang alat keamanan dan privasi (S&P) yang lebih inklusif dan adil, tidak hanya bagi pengguna BLV tetapi juga untuk berbagai kelompok yang membutuhkan aksesibilitas. Dengan memahami kebutuhan spesifik dari kelompok pengguna ini, peneliti berharap desain alat-alat S&P masa depan dapat menjamin akses yang lebih setara dan pengalaman yang lebih aman bagi semua pengguna, tanpa kecuali.

Bagaimana Pengguna BLV Mengakses Informasi

Pengguna tunanetra dan dengan gangguan penglihatan (BLV) menghadapi tantangan besar dalam mengakses informasi di dunia digital. Mereka umumnya mengandalkan teknologi bantu seperti screen readers (misalnya, JAWS, NVDA, VoiceOver di perangkat Apple, dan TalkBack di Android) untuk membaca teks yang ditampilkan di layar. Screen readers ini menjadi alat penting yang memungkinkan pengguna BLV menavigasi situs web, aplikasi, dan berbagai layanan digital. Namun, perangkat ini hanya efektif jika konten digital dan teknologi mengikuti standar aksesibilitas. Sayangnya, masih banyak situs web dan aplikasi yang kurang memperhatikan standar ini, membuat pengguna BLV kesulitan mengakses informasi secara optimal.

Selain screen readers, pengguna BLV juga menggunakan layanan interpretasi visual berbasis agen, seperti aplikasi Aira dan Be My Eyes, yang memungkinkan mereka terhubung dengan agen manusia yang dapat membantu melalui kamera ponsel. Di samping itu, aplikasi berbasis AI seperti Seeing AI menjadi alat yang sangat bermanfaat, memungkinkan pengguna BLV untuk mendapatkan informasi tentang lingkungan mereka secara lebih mandiri, mulai dari mengenali objek hingga membaca teks.

Privasi dan Keamanan bagi Pengguna BLV

Dalam hal privasi dan keamanan (S&P), pengguna BLV menghadapi tantangan yang unik. Penelitian menunjukkan bahwa pengguna BLV rentan terhadap risiko privasi yang lebih tinggi karena keterbatasan mereka dalam melihat petunjuk visual terkait keamanan. Misalnya, tindakan sederhana seperti memasukkan data pribadi atau melakukan transaksi online bisa menjadi risiko yang signifikan karena pengguna BLV sering kali harus mengandalkan orang lain atau alat bantu visual untuk melakukannya.

Pengguna BLV juga kerap mengalami kesulitan dalam mengelola privasi data, terutama ketika menggunakan teknologi pendukung seperti layanan interpretasi visual berbasis kamera yang dapat melibatkan agen manusia dalam prosesnya. Rasa ketergantungan ini sering kali menimbulkan kekhawatiran tentang bagaimana data pribadi mereka disimpan dan digunakan oleh pihak ketiga. Selain itu, terdapat risiko fisik-digital, seperti eavesdropping (mendengarkan secara diam-diam) dan shoulder surfing (mengintip layar), yang dapat membuat pengguna BLV lebih rentan terhadap pelanggaran privasi.

Privacy Question Answering (Q&A)

Konsep Privacy Question Answering (Q&A) menjadi solusi yang semakin menarik untuk membantu pengguna memahami kebijakan privasi yang sering kali kompleks dan sulit diakses. Privacy Q&A adalah teknologi yang menggunakan pemrosesan bahasa alami (Natural Language Processing atau NLP) untuk memungkinkan pengguna bertanya tentang kebijakan privasi dan menerima jawaban yang lebih mudah dipahami. Dengan begitu, pengguna dapat mengakses informasi privasi yang relevan tanpa harus membaca dokumen kebijakan privasi yang panjang dan penuh istilah hukum.

Penelitian ini menempatkan Privacy Q&A sebagai alat yang sangat potensial untuk meningkatkan aksesibilitas informasi privasi bagi pengguna BLV. Asisten privasi berbasis Q&A memungkinkan pengguna untuk mengajukan pertanyaan spesifik sesuai kebutuhan mereka, dan menerima jawaban dalam format yang dapat diakses dan mudah dipahami. Dengan perkembangan teknologi NLP yang pesat, asisten privasi ini juga diharapkan mampu menawarkan fleksibilitas interaksi dalam bentuk teks dan suara, menjadikannya alat yang lebih inklusif bagi pengguna dengan berbagai kebutuhan aksesibilitas.

 

Metode

Asumsi dan Justifikasi Metode

Studi ini berasumsi bahwa pengguna tunanetra dan dengan gangguan penglihatan (BLV) menghadapi kesulitan dalam mengakses informasi privasi data dan dapat merasakan manfaat dari alat bantu privasi seperti asisten Privacy Q&A. Untuk menggali pemahaman mendalam tentang sikap dan kebutuhan mereka, peneliti memilih metode wawancara kualitatif. Metode ini cocok untuk menangkap persepsi, pengalaman, dan harapan dari para pengguna BLV, yang sangat relevan dengan tujuan penelitian ini.

Desain Studi dan Etika Penelitian

Penelitian dilakukan melalui wawancara daring pada tahun 2021, dengan mempertimbangkan panduan dari konsultan tunanetra untuk memastikan prosedur penelitian sesuai dan nyaman bagi peserta BLV. Protokol penelitian ini telah disetujui oleh Institutional Review Board (IRB), dan persetujuan wawancara diperoleh secara verbal mengingat kemungkinan peserta mengalami kesulitan dalam menandatangani dokumen elektronik. Untuk menjaga kenyamanan, peserta diwawancara hanya melalui audio, dan mereka diberikan kompensasi setelah wawancara.

Pertanyaan Wawancara

Pertanyaan wawancara disusun berdasarkan tiga pertanyaan penelitian utama (RQs) dan dimulai dengan pertanyaan dasar tentang penggunaan teknologi oleh peserta. Wawancara kemudian berlanjut dengan pertanyaan mendalam yang menggali persepsi risiko privasi, perilaku pencarian informasi privasi, dan harapan terhadap asisten privasi berbasis Q&A. Setiap pertanyaan dirancang secara hati-hati untuk menggali pengalaman dan ekspektasi tanpa bias yang mungkin datang dari asumsi peneliti.

Rekrutmen dan Pengumpulan Data

Peserta direkrut melalui jaringan pribadi peneliti dan bantuan Federasi Tunanetra Nasional di AS. Mengingat pentingnya kepercayaan dalam merekrut komunitas BLV, materi promosi yang inklusif digunakan untuk mendorong partisipasi dari latar belakang yang beragam, termasuk peserta yang mungkin kurang akrab dengan teknologi. Studi ini berhasil merekrut 21 peserta BLV yang mencakup berbagai usia, gender, dan tingkat pendidikan. Semua wawancara direkam, dan data dikumpulkan dalam bentuk rekaman audio dengan transkripsi yang diperiksa manual untuk memastikan akurasi.

Analisis Data Kualitatif

Proses analisis data kualitatif menggunakan pendekatan tematik yang menggabungkan inductive dan deductive coding untuk mengidentifikasi tema-tema kunci. Empat anggota tim peneliti terlibat dalam pengkodean untuk memastikan keandalan internal, dengan beberapa langkah untuk menyelaraskan hasil pengkodean antar-peneliti dan mengatasi konflik. Tujuan utama analisis adalah mengidentifikasi pola-pola signifikan yang dapat membantu merancang alat bantu privasi yang lebih inklusif bagi pengguna BLV.

 

Terminologi Untuk Menggambarkan Frekuensi

Peneliti menggunakan istilah khusus untuk menggambarkan frekuensi atau prevalensi tema yang ditemukan dalam hasil penelitian mereka. Dalam studi kualitatif ini, setiap istilah menggambarkan persentase tertentu dari peserta yang mengungkapkan tema tersebut. Berikut adalah rincian istilah yang digunakan berdasarkan persentase peserta:

  • None (0%): Tidak ada peserta yang menyebutkan tema ini.
  • A few (15%): Hanya beberapa peserta (sekitar 15%) yang mengungkapkan tema ini.
  • Some (30%): Beberapa peserta (sekitar 30%) menyebutkan tema ini, menunjukkan bahwa tema ini relevan, tetapi tidak umum.
  • Many (45%): Banyak peserta (sekitar 45%) yang menyebutkan tema ini, menunjukkan frekuensi yang cukup tinggi.
  • About half (55%): Sekitar setengah peserta (55%) mengungkapkan tema ini, menjadikannya cukup signifikan.
  • Majority (70%): Mayoritas peserta (sekitar 70%) menunjukkan atau menyebutkan tema ini.
  • Most (85%): Sebagian besar peserta (sekitar 85%) mengakui atau setuju dengan tema ini.
  • Almost all (100%): Hampir semua peserta menyebutkan tema ini, menunjukkan bahwa tema ini sangat umum atau relevan bagi hampir seluruh peserta.

 

Peserta dan Pertanyaan Dasar

Penelitian ini melibatkan 21 peserta BLV dari Amerika Serikat, terdiri dari tunanetra (19 peserta) dan penglihatan rendah (2 peserta), dengan variasi dalam usia, gender, dan status pekerjaan. Sebagian besar peserta memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan beberapa berasal dari kelompok non-kulit putih serta komunitas LGBTQ+. Hampir semua peserta menggunakan komputer dan perangkat pintar seperti ponsel untuk keperluan sehari-hari, dengan ketergantungan lebih besar pada perangkat seluler. Selain itu, peserta memanfaatkan teknologi pendukung seperti screen readers, asisten suara, dan perangkat berbasis kamera seperti Seeing AI dan layanan visual interpretasi (visual interpreter services).

Sebagian besar peserta memahami praktik data digital dan mengakui pentingnya privasi data, namun mereka merasa pengaturan privasi yang ada masih tidak efektif. Beberapa peserta juga menerapkan teknologi untuk meningkatkan privasi, seperti VPN dan mesin pencari privat. Sikap terhadap privasi data beragam, dari kekhawatiran tinggi hingga penerimaan data yang dikumpulkan untuk tujuan tertentu, seperti iklan.

 

Persepsi Risiko dan Mitigasi oleh Pengguna BLV

Para peserta mengidentifikasi beberapa risiko terkait teknologi digital, seperti risiko keamanan data finansial (nomor keamanan sosial, data perbankan), peretasan data, dan kerentanan terhadap tindak kejahatan finansial. Beberapa merasa bahwa interpretasi visual berbasis agen seperti Be My Eyes lebih berisiko karena melibatkan manusia, yang dapat menimbulkan kekhawatiran terkait keamanan informasi sensitif. Peserta juga mengakui risiko dalam pengaturan fisik, seperti pengintaian (shoulder surfing) atau eavesdropping, terutama saat menggunakan asisten suara di ruang publik.

Dalam hal mitigasi risiko, sebagian besar peserta memilih untuk mengatur pola penggunaan teknologi digital mereka. Mereka berhati-hati untuk tidak berbagi informasi sensitif dengan layanan berisiko, seperti Be My Eyes, yang tidak memiliki pemeriksaan latar belakang agen. Beberapa peserta bahkan menghentikan penggunaan teknologi tertentu atau beralih ke aplikasi yang mereka anggap lebih aman. Selain itu, mereka menghindari aplikasi perbankan daring atau media sosial yang dianggap berisiko. Tindakan mitigasi mereka juga mencerminkan tingkat kepercayaan yang tinggi pada teknologi pendukung tertentu, terutama jika alternatif yang lebih aman sulit ditemukan atau kurang terjangkau.

 

Perilaku Pencarian Informasi Pengguna BLV

Peserta menggunakan berbagai sumber untuk memperoleh informasi tentang privasi data, seperti media berita, sumber daring, dan individu tepercaya, seperti teman ahli teknologi. Kebanyakan peserta menganggap berita tepercaya dan organisasi komunitas BLV sebagai sumber yang kredibel. Namun, hanya sedikit peserta yang secara teratur membaca kebijakan privasi, terutama karena panjang dan bahasa hukum yang sulit dipahami.

Dalam hal perilaku pencarian, peserta terbagi: beberapa secara aktif mencari informasi privasi, sementara yang lain tidak merasa perlu. Di antara mereka yang mencari, metode pencarian bervariasi mulai dari pencarian Google hingga membaca kebijakan privasi secara langsung. Sebagian besar peserta merasa sukses dalam pencarian mereka, sementara beberapa merasa kewalahan karena informasi yang sulit ditemukan atau sulit dipahami.

 

Ekspektasi terhadap Alat Privacy Q&A

Para peserta menyambut baik ide asisten Privacy Q&A yang bisa memberikan jawaban yang jelas, akurat, dan terstruktur dalam bahasa yang sederhana. Mayoritas peserta berharap alat ini tersedia di berbagai perangkat, dengan dukungan multi-modalitas seperti teks dan suara. Peserta juga berharap asisten dapat memberikan referensi atau sumber tambahan untuk mendukung jawaban yang diberikan.

Peserta memiliki preferensi yang kuat terhadap pengembang yang netral, seperti organisasi nirlaba atau pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan komersial dalam praktik data yang dipertanyakan. Sementara itu, mereka merasa skeptis terhadap asisten privasi yang dikembangkan oleh perusahaan besar atau pemerintah. Kekhawatiran lain adalah potensi data yang dikumpulkan oleh asisten itu sendiri serta keakuratan dan kebebasan asisten dalam menyediakan informasi.

Asisten ini diharapkan dapat bermanfaat dalam berbagai skenario, terutama saat pengguna pertama kali menggunakan layanan digital baru atau saat terjadi pembaruan kebijakan privasi. Beberapa peserta menyatakan akan menggunakan asisten ini secara rutin untuk memeriksa keamanan data pada aplikasi yang mereka gunakan.

 

Diskusi dan Implikasi

Studi ini mengonfirmasi bahwa pengguna BLV menghadapi risiko keamanan dan privasi yang lebih tinggi dalam menggunakan teknologi digital. Risiko tersebut meningkat karena keterbatasan aksesibilitas, yang sering kali membuat pengguna BLV lebih rentan terhadap pelanggaran privasi. Saat ini, banyak dari mereka yang mengatasi risiko ini dengan menyesuaikan cara mereka menggunakan teknologi atau bergantung pada pihak ketiga untuk perlindungan privasi. Oleh karena itu, penyediaan informasi yang dapat diakses sangatlah penting untuk membantu mereka menilai risiko dengan lebih baik.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa alat privasi yang inklusif dan aksesibel sangat dibutuhkan, khususnya untuk pengguna BLV. Asisten Privacy Q&A dapat memberikan aksesibilitas yang lebih baik dan memenuhi kebutuhan spesifik mereka dengan menyediakan jawaban dalam berbagai format dan perangkat. Harapan pengguna BLV terhadap asisten ini juga menunjukkan pentingnya aspek kualitas dan kepercayaan, di mana asisten harus mampu memberikan jawaban yang kredibel dan valid dari sumber yang terpercaya.

Selain itu, kesenjangan digital dan literasi teknologi di kalangan pengguna BLV juga perlu diatasi. Beberapa peserta, terutama yang memiliki keterbatasan finansial, mengalami kesulitan mengakses alat yang lebih aman dan efisien. Oleh karena itu, penelitian ini menekankan pentingnya menciptakan alat keamanan dan privasi yang terjangkau dan mudah digunakan, yang dapat menjembatani kesenjangan keamanan digital dan meningkatkan kesetaraan dalam akses informasi bagi semua pengguna.

 

Akhirnya

Sebagai penutup, studi ini telah menyajikan wawasan mendalam mengenai persepsi risiko privasi data dan strategi mitigasi pengguna tunanetra dan dengan gangguan penglihatan (BLV), serta perilaku pencarian informasi mereka dan harapan terhadap alat Privacy Q&A yang dapat membantu menavigasi informasi privasi data. Hasil penelitian ini memberikan implikasi penting terkait kegunaan, aksesibilitas, kepercayaan, kesetaraan, serta mitigasi risiko privasi dan keamanan (S&P) yang tidak hanya relevan bagi pengguna BLV tetapi juga berpotensi bermanfaat bagi populasi yang lebih luas.

 

Sebagai penutup, salah satu peserta wawancara menyampaikan sebuah pandangan yang sangat mendasar tentang pentingnya aksesibilitas:

“Saya tahu survei [wawancara] ini ditujukan untuk tunanetra… tetapi sebenarnya apa yang Anda bicarakan menurut saya adalah survei [wawancara] yang seharusnya diikuti semua orang… karena saya pikir yang Anda bicarakan [asisten privasi]… akan memberi manfaat untuk semua orang, dan Anda tahu dalam banyak kasus dalam komunitas penyandang disabilitas, kami mencoba menemukan hal-hal yang akan memberi manfaat bagi seluruh masyarakat.”

 

Kutipan ini merangkum esensi dari aksesibilitas dalam konteks privasi dan keamanan digital—bahwa teknologi yang inklusif dan mudah diakses tidak hanya bermanfaat bagi kelompok tertentu, tetapi juga menciptakan dampak positif bagi masyarakat luas, menginspirasi pengembangan alat dan kebijakan yang lebih adil dan setara.

 

Hal yang Paling Menarik

Salah satu hal paling menarik dari materi ini adalah pendekatan inklusif terhadap aksesibilitas privasi data yang dirancang khusus untuk pengguna tunanetra dan dengan gangguan penglihatan (BLV). Melalui wawancara mendalam dengan peserta BLV, penelitian ini tidak hanya menggali tantangan privasi yang mereka hadapi tetapi juga menjelajahi solusi yang memungkinkan mereka untuk memahami dan mengelola data pribadi mereka secara lebih mandiri. Pendekatan menggunakan alat Privacy Q&A yang dapat menjawab pertanyaan pengguna dalam bahasa yang sederhana dan format yang dapat diakses sangat mengesankan bagi saya karena mampu menjawab kebutuhan yang seringkali terabaikan, terutama dalam dunia teknologi yang banyak mengandalkan visual.

Hal ini menarik karena menunjukkan bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kesetaraan dalam akses informasi di masyarakat. Tantangan yang dihadapi oleh pengguna BLV ini juga dapat ditemukan di Indonesia, di mana masih banyak layanan digital yang kurang memperhatikan standar aksesibilitas untuk penyandang disabilitas. Di Indonesia, upaya dalam memberikan layanan yang inklusif masih dalam tahap pengembangan, terutama dalam hal keamanan dan privasi data. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa layanan digital yang adil dan setara bukan hanya soal kemudahan penggunaan, tetapi juga mengenai perlindungan hak privasi setiap pengguna, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik.

Dalam konteks pekerjaan, materi ini sangat relevan bagi berbagai proyek yang melibatkan pengembangan aplikasi atau platform digital yang inklusif di Indonesia. Pendekatan Privacy Q&A ini dapat diterapkan dalam proyek layanan publik digital, misalnya untuk mengedukasi masyarakat yang memiliki keterbatasan penglihatan tentang kebijakan privasi dalam aplikasi kesehatan, pendidikan, atau perbankan. Selain itu, materi ini juga menginspirasi untuk merancang layanan yang mempertimbangkan pengalaman pengguna BLV secara langsung, seperti mengembangkan panduan privasi berbasis suara atau teks sederhana yang mudah dipahami. Inovasi-inovasi ini tidak hanya meningkatkan aksesibilitas tetapi juga menunjukkan komitmen kita terhadap inklusivitas di era digital, sebuah inspirasi yang sangat penting bagi pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

 

Hal yang Paling Mengejutkan

Hal yang paling mengejutkan bagi saya dari penelitian ini adalah sejauh mana pengguna tunanetra dan dengan gangguan penglihatan (BLV) harus beradaptasi untuk menjaga privasi mereka dan mengelola risiko di dunia digital. Sebelum mempelajari materi ini, saya tidak menyadari seberapa besar ketergantungan mereka pada teknologi bantu, seperti layanan interpretasi visual yang sering kali melibatkan pihak ketiga. Fakta bahwa banyak pengguna BLV merasa harus membatasi akses informasi sensitif mereka kepada agen-agen interpretasi visual, karena kurangnya jaminan privasi, menunjukkan tingkat kerentanan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini membuka mata saya bahwa aksesibilitas teknologi digital masih menyisakan risiko privasi yang sangat besar bagi kelompok pengguna tertentu, dan bahwa kebutuhan akan alat privasi yang aman dan inklusif sangat mendesak.

Pemahaman ini mengubah pandangan saya terhadap privasi digital bagi penyandang disabilitas, terutama di Indonesia. Kebanyakan solusi digital saat ini belum sepenuhnya memperhatikan aspek keamanan dan privasi bagi pengguna dengan kebutuhan aksesibilitas khusus. Setelah mengetahui hal ini, langkah yang terpikirkan adalah mengusulkan kebijakan yang mengedepankan inklusivitas privasi dan keamanan bagi penyandang disabilitas dalam layanan digital. Salah satu langkah konkret adalah mengembangkan panduan aksesibilitas nasional yang tidak hanya fokus pada penggunaan teknologi tetapi juga pada perlindungan privasi data bagi kelompok rentan ini.

Selain itu, untuk implementasi yang lebih praktis, Indonesia dapat mengembangkan layanan interpretasi visual berbasis teknologi AI yang memastikan keamanan data pengguna, atau memberikan fitur Privacy Q&A dalam aplikasi layanan publik. Fitur ini bisa membantu pengguna BLV untuk memahami hak privasi mereka tanpa harus bergantung pada bantuan eksternal yang berisiko. Inisiatif semacam ini bisa menjadi model layanan publik inklusif yang tidak hanya memberi akses tetapi juga melindungi privasi semua pengguna di Indonesia.

Pertanyaan yang Masih Belum Terjawab

Setelah mempelajari materi ini, satu pertanyaan yang masih belum terjawab adalah: Bagaimana pengguna tunanetra dan dengan gangguan penglihatan (BLV) di Indonesia menghadapi tantangan privasi dan keamanan data dalam konteks digital yang terus berkembang? Pertanyaan ini muncul karena, meskipun penelitian ini memberikan wawasan yang mendalam tentang tantangan yang dihadapi pengguna BLV di Amerika Serikat, kita belum memiliki pemahaman yang jelas tentang bagaimana situasi ini berlaku dalam konteks Indonesia. Apakah tantangan yang dihadapi sama atau ada perbedaan unik? Bagaimana pengguna BLV di Indonesia mengakses informasi terkait privasi, dan apakah ada alat atau layanan lokal yang mendukung kebutuhan mereka?

Pertanyaan ini menarik karena dapat membuka jalan untuk penelitian lebih lanjut yang fokus pada aksesibilitas privasi di Indonesia, terutama mengingat adanya perbedaan dalam infrastruktur digital, kesadaran privasi, dan regulasi. Jawaban atas pertanyaan ini juga dapat membantu dalam mengembangkan kebijakan dan solusi teknologi yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan lokal, serta memperkuat perlindungan privasi bagi kelompok rentan di Indonesia.

Untuk mencari jawaban, langkah pertama yang akan saya ambil adalah melakukan survei atau wawancara dengan pengguna BLV di Indonesia untuk memahami pengalaman mereka dalam mengakses layanan digital dan mengelola privasi. Langkah berikutnya adalah bekerja sama dengan organisasi lokal yang mendukung hak-hak penyandang disabilitas untuk mengumpulkan data lapangan dan wawasan langsung. Selain itu, mengkaji kebijakan privasi dan keamanan nasional yang ada juga dapat memberikan konteks penting dan membantu merancang rekomendasi praktis yang bisa diimplementasikan di Indonesia.

 

Pandangan Saya Sebagai Seorang Developer / Programmer

Sebagai seorang developer perangkat lunak, baik untuk platform web maupun mobile, penelitian ini membuka pandangan baru tentang pentingnya aksesibilitas dan privasi yang lebih inklusif. Dari penelitian ini, saya menyadari bahwa pengalaman pengguna yang optimal tidak hanya terbatas pada tampilan antarmuka yang menarik atau fungsionalitas yang lancar, tetapi juga mencakup kemampuan pengguna dari semua latar belakang, termasuk mereka yang tunanetra atau dengan gangguan penglihatan (BLV), untuk memahami dan mengelola privasi data mereka secara mandiri.

Dalam konteks pengembangan aplikasi, hal ini memotivasi saya untuk menerapkan praktik desain yang memperhatikan aksesibilitas privasi, khususnya bagi pengguna BLV. Salah satu cara yang dapat saya lakukan adalah dengan menambahkan fitur Privacy Q&A dalam aplikasi, yang menggunakan pemrosesan bahasa alami untuk menjawab pertanyaan pengguna tentang kebijakan privasi dalam bahasa yang sederhana dan format yang dapat diakses oleh screen readers. Dengan demikian, pengguna BLV bisa mendapatkan informasi privasi tanpa harus membaca kebijakan panjang atau bahasa hukum yang sulit.

Lebih lanjut, saya juga terinspirasi untuk memastikan bahwa aplikasi yang saya kembangkan mendukung interaksi multi-modalitas. Ini berarti menyediakan akses baik dalam bentuk teks maupun suara, sehingga pengguna dapat memilih format yang paling nyaman bagi mereka. Selain itu, desain antarmuka yang mendukung keyboard navigation, kompatibilitas dengan screen readers, serta label deskriptif pada semua elemen interaktif adalah hal-hal penting yang akan saya terapkan.

Dari sisi keamanan, saya melihat pentingnya transparansi dalam pengelolaan data pribadi pengguna. Implementasi ini bisa diterapkan dengan memberikan notifikasi langsung tentang bagaimana data pengguna digunakan, serta menyediakan opsi untuk pengaturan privasi yang mudah ditemukan dan diatur oleh pengguna BLV. Ini bukan hanya menambah nilai pada aplikasi, tetapi juga membangun kepercayaan dan menjamin pengalaman pengguna yang lebih aman dan inklusif.

Dalam konteks pengembangan aplikasi di Indonesia, penerapan aksesibilitas privasi ini akan sangat relevan, terutama mengingat bahwa sebagian besar layanan publik digital belum sepenuhnya inklusif. Melalui desain yang mengutamakan aksesibilitas dan privasi, kita dapat membuat aplikasi yang tidak hanya ramah pengguna, tetapi juga menjangkau dan melayani seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Ini adalah langkah konkret yang bisa saya ambil sebagai developer untuk mendukung kesetaraan digital dan akses yang lebih baik bagi penyandang disabilitas di Indonesia.

By Juri Pebrianto

IT and software developer From 2014, I focus on Backend Developers with the longest experience with the PHP (Web) programming language, as I said above, I open myself up to new technologies about programming languages, databases and everything related to programming or software development. I have a new experience for React-Js, React-Native, Go-Lang, by the way, this website juripebrianto.my.id is made with React-Js technology as the frontend and Go-Lang as the API and CMS and uses MongoDB as the database.